<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d36907645\x26blogName\x3dIn+Memorian\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://anakmapek-curhat.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://anakmapek-curhat.blogspot.com/\x26vt\x3d3316525048331518095', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Pemilik Math'am Itu...

"Masya Allah", mungkin penggalan kata ini yang paling pantas untuk menggambarkan sosok pemilik math'am itu. Namanya Ust. Usman, penampilannya sangat sederhana, layaknya orang-orang Arab kebanyakan. Memakai jallabiah (pakaian arab) dan serban di kepala. Matanya agak sipit mirip orang Uzbekiztan, janggotnya panjang mirip tokoh yang paling ditakuti Amerika, Osamah bin Laden. Ust. Utsman -begitu orang-orang memanggilnya- memiliki sebuah math'am (rumah makan) yang sangat sederhana. Di sebuah perkampungan yang terletak di sudut kota Kairo, yang lebih dikenal dengan nama Qattamiah, di situlah beliau mendirikan math'am. Dari penampilan luar, math'am ini tidak memiliki keistimewaan apa-apa, orang-orang yang singgah untuk sekedar mengisi perut pun kebanyakan kalangan kelas menengah ke bawah. Sangat sederhana. Kalo dibanding dengan math'am-math'am di Indonesia, mungkin setara dengan "warung pojok".

Tapi siapa yang menyangka, kalo ternyata math'am sederhana tersebut menyimpan segudang keunikan. Layaknya math'am-math'am di Mesir, math'am ini dikelola oleh seorang juragan ditemani beberapa pekerja yang menyajikan makanan khas Mesir. Namun, ada hal unik yang menggelitik di math'am ini. Di bagian luar, terpampang sebuah tulisan, "Math'am fi sabilillah, allahummah khlif ala man bazal". Di bagian pelataran math'am, kursi-kursi dan meja makan diatur rapi. Di dalam math'am sendiri, suasananya tak jauh beda dengan suasana di luar. Kursi dan meja makan, serta sebuah dapur saja yang menghiasinya. Namun, kesederhanan itu semua tiba-tiba berubah menjadi sebuah ketakjuban yang luar biasa.

Siapa yang menyangka, kalo ternyata pemilik math'am itu sangat baik hati, religi, dan sangat peduli pada sesama. Hari itu, Jum'at, 3 Nopember 2006 / 11 Syawal 1427 H. Aku kebetulan nginap di rumah seorang teman yang tinggal di daerah tersebut. Setelah sholat jum'at, mereka mengajakku ke sebuah math'am yang konon tiap tahun memberikan musa'adah (bantuan) untuk para mahasiswa. Yaa.. karena diajak, aku ikut saja. Berharap bisa kebagian rezeki juga.

Sampai di sana, ternyata telah berkumpul sekitar 100 orang mahasiswa. Kabarnya, pemilik math'am sebelumnya telah meminta kepada salah seorang perwakilan mahasiswa untuk menulis nama-nama mahasiswa yang tinggal di daerah tersebut. Maklum, daerah ini termasuk salah satu yang paling banyak mahasiswa Indonesianya. Di samping memang karena sewa apartemen lebih murah, suasana perkampungan tersebut juga sangat kondusif untuk melahap habis muqarrar (diktat kuliah).

"Pemandangan yang luar biasa", kesan itu mungkin yang pertama kali menusuk ke hatiku. Sekitar 90 orang mahasiswa sedang duduk rapi menikmati hidangan dari sang pemilik math'am. "Kok pada makan seh", tanyaku pada salah seorang teman. "ini makan gratis", jawabnya. HAH... aku hampir tak percaya, "apa pemilik math'am ini gak takut rugi yaa???, 90 orang itu gak sedikit", gumamku dalam hati. Di negeri kita, siapa yang mau berbuat seperti itu. Jarang sekali, bahkan mungkin tidak ada sama sekali. Tapi kenyataan yang kuliat hari ini sungguh di luar perkiraan.

Sang pemilik math'am keluar dengan senyum akrab, "tha'am?", tanyanya pada beberapa mahasiswa yang duduk di luar. "khalas ya ustadz, ihna sha'imin", jawab beberapa mahasiswa. Beberapa anak-anak Mesir ikut nimbrung makan, ibu-ibu Mesir -yang standar hidupnya sangat sederhana- ikut kebagian ajakan sang pemilik math'am. Beberapa mahasiswa yang sudah menyelesaikan santap siangnya, nampak mulai keluar. Aku pikir mereka semua akan berlalu pulang. Namun, lagi-lagi aku harus membisu takjub. Tiba-tiba Sang pemilik math'am keluar mengawasi mahasiswa yang mulai berhamburan, "istanna suwaiyya, Duktur Ghay!".

Setelah selasai makan, Ust. Usman mulai menyebut nama-nama yang telah diserahkan oleh perwakilan mahasiswa kepadanya. Satu persatu dipanggil. "Agwas", panggilnya. Mahasiswa yang lain tertawa. Nama 'Agwas', seharusnya dipanggil 'Agus'. Maklum, orang Mesir kadang-kadang kesulitan menyebut nama-nama orang Asia. Setelah selesai memeriksa nama-nama mahasiswa, sebagian berkumpul di dalam math'am, sebagian lagi berdiri di luar karena di dalam tidak muat. Lagi-lagi sesi takjub ketiga harus meronta dalam jiwaku. Ust. Usman mulai memberi wejangan. "Isbir Nafsak", ungkapnya.

Dari awal hingga akhir, aku harus tertunduk malu. Ust. Usman betul-betul memukau. Dia banyak mengungkap hadits-hadits serta ayat al-quran dengan fasih, yang aku sendiri tidak hapal. Dengan bahasa fushahnya yang cukup fasih, beliau mencoba memahamkan mahasiswa. Di Mesir, sangat jarang orang bisa berbahasa fushah selancar dia. Bahkan mahasiswa-mahasiswa Mesir di Universitas Al-Azhar mayoritas menggunakan bahasa ammiyah sebagai bahasa pergaulan dan metode kuliah ketimbang bahasa fushah.

"Masya Allah", lagi-lagi aku harus berguman kagum sembari tertikam malu. Pesan-pesan religinya membalut jiwa. "Jadikanlah al-quran dan sunnah Nabi sebagai pegangan", pesannya. Bagiku, ini sudah lebih dari cukup. Cukup membuatku malu, cukup membuatku takjub.

"Tafaddal ya Duktur!", seorang Bapak dengan penampilan "wah" masuk ditemani seseorang. "Duktur ini ingin menyumbang mushaf al-quran dan uang untuk kalian, pahalanya diperuntukan buat ayahandanya yang telah berpulang ke rahmatullah", kata Ust. Usman setelah menyelesaikan ceramahnya.

"Masya Allah". Di Mesir, dermawan seperti orang ini cukup banyak. Mereka senang menyumbang untuk para mahasiswa, namun kadang-kadang kebaikan mereka dianggap sebagai upaya untuk membiayai teroris oleh para pejabat rezim Mubarak. Entah kenapa, aku sendiri tak pernah tahu.

Aku terkadang mencoba meraba-raba, menerka-nerka. Mungkin karena sejarah silam Mesir kebanyakan bermula dari tempat-tempat seperti ini, math'am atau magha (kafe). Tempat-tempat ini bukan sekadar tempat santai. Revolusi rakyat pun konon digodok dari kedai-kedai ini. Syekh Jamaluddin al-Afghani misalnya, memulai revolusi 1919 di kafe Mitatia yang terletak di bundaran Atabah, muara Jalan Muski, Kairo. Disusul kemudian oleh murid-muridnya, diantaranya Syekh Muhammad Abduh (pelopor pembaruan keagamaan serta mufti Mesir ternama), Abdullah al-Nadim yang nantinya dijuluki 'Khathîb al-Tsawrah' (Orator Revolusi 1919). Serta yunior Abduh di Al-Azhar, bernama Saad Zaghlul. Kelak Zaghlul-lah yang menjadi tokoh utama revolusi 1919 dan perdana menteri pertama Mesir. Serta masih banyak tokoh masyhur lainnya yang terlahir dari tempat-tempat seperti ini. Wallahu a'lam.

*Tajammu Permai, 12 Syawal 1427 H / 4 November 2006 M
« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »