<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d36907645\x26blogName\x3dIn+Memorian\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dSILVER\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://anakmapek-curhat.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://anakmapek-curhat.blogspot.com/\x26vt\x3d3316525048331518095', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Kado buat Tia

aku mengenal gadis itu beberapa tahun silam. Dia sosok gadis yang polos, sangat jauh dari kesan glamor, penampilannya juga sangat sederhana. Kehidupan jakarta yang menebar bau hedonis, tak pernah mengusik kehidupannya yang jauh di pelosok sana, di sebuah perkampungan kumuh yang nampak lusuh dari jauh.

hari itu, aku berjanji akan bertemu dengannya. sebelumnya, aku telah menghubunginya lewat telpon untuk sekedar memberitahu padanya bahwa aku akan berkunjung ke tempatnya. "Iya kak, nanti aku jemput", ia sangat senang mendengar hal itu. ibu, kakak serta adeknya yang bungsu pun diberitahu. jauh-jauh hari, aku memang sudah merencanakan akan bertemu dengan mereka, karena ini adalah kesempatan pertamaku menginjak kota Jakarta sekaligus untuk mengunjungi mereka.

Namun, hari itu aku tak jadi ke sana, tiba-tiba ada urusan administrasi yang harus kuselesaikan. kucoba mengubunginya kembali, namun tak ada jawaban. "mungkin mereka sudah keluar di jalan menungguku", pikirku.

keesokan harinya, aku mencoba menghubungi mereka kembali. "kenapa tak datang k'? kita semua sudah pada nungguin di sini", suaranya seolah-olah ingin menghakimiku di telpon. "maaf d', kemaren tiba-tiba aku ada urusan, aku juga sudah coba menghubungi ke sana, tapi tak ada yang angkat telponnya, sekali lagi maaf..." kucoba membela diri. "trus, kapan jadinya ke sini?", tanyanya kembali. "Insya allah, hari ini aku akan ke sana, kebetulan ada teman juga yang mau ke daerah sana, jadi kami bisa barengan", jawabku apa adanya.

* * * *
dari Ciputat, aku menuju Tanjung Priuk, dengan bis patas menelusuri jalan-jalan kota jakarta yang padat. Turun di sebuah terminal bis, kemudian naik angkot menelusuri jalan-jalan berbatu. sesekali angkot bergoyang mengikuti irama jalan yang tak terawat. Di sepanjang jalan, kerumunan manusia lalu-lalang menjajakan jualan. Tempat itu ternyata sebuah pasar, tempat para warga kota itu mengaduh nasib.

di sebuah belokan kami turun. di sebuah tempat yang benar-benar membuatku asing. ini pertama kali aku menginjakan kaki di tempat itu. aku bersama rekanku berpisah, karena kami beda haluan. dia akan menemui Om-nya yang kebetulan juga tinggal di daerah tersebut. cukup lama aku termangu, sesekali kuperhatikan sekelilingku. tiba-tiba seorang gadis menghampiriku, "k' hudri ya?", ia mencoba meyakinkan dirinya.. "iya", jawabku meyakinkannya. meski samar aku masih bisa mengenalinya, dia juga bisa mengenaliku. kami bersalaman akrab, dia nampak senang sekali. O ya, ini adalah pertemuan kedua kami setalah pertemuan pertama, ketika ia berkunjung ke tanah kelahiran ibunya di sulawesi.

namanya Tia, dia menuntunku menelusuri jalan bebatuan menuju rumahnya, sambil sesekali menggerutu kesal karena aku gagal menepati janji kemarin sore. "Aku sudah nungguin kakak sampe magrib, tapi kakak gak datang-datang juga", kutimpali dengan senyuman, "maaf, maaf, ini semua bukan kesengajaan, yang penting kan aku sudah datang hari ini", ia pun akhirnya kembali tersenyum. setelah menelusuri lorong-lorong sempit, melewati sebuah mesjid kecil, akhirnya kami sampai di sebuah rumah yang sangat sederhana. "Inilah rumahku kak", tuturnya tanpa basa-basi.

di dalam rumah, ibu, kakak lelaki serta adek bungsunya sudah sedari tadi menunggu. "Anakku, akhirnya kau datang juga", ibunya memeluku erat, cukup lama, air matanya bercucuran, aku pun ikut terharu.

* * * *
Tia bersama ibunya tinggal di sebuah rumah yang sangat sederhana, sangat jauh dari sebuah kelayakan. hampir tak ada perabotan bernilai di tempat itu. Hanya ada beberapa perabot rumah tangga yang sudah nampak usang. di rumah itu, hanya ada sebuah ruang tamu yang sangat sempit serta dapur, letaknya di lantai bawah. Di lantai atas, ada kamar mandi serta dua buah kamar tidur yang kusam. Dua kamar tidur serta kamar mandi itu seharusnya berdempetan dengan ruang tamu di lantai bawah, namun padatnya bangunan-bangunan lusuh di daerah itu memaksanya harus memanjang ke atas, membentuk sebuah kotak kubus yang riuh.

Bapaknya seorang nelayan yang tiap hari berjuang menaklukan laut. "Bapaknya Tia sedang di laut sekarang, sebulan sekali ia balik ke rumah, sayang kamu tidak bisa bertemu dengannya", kisah ibunya, sambil tersenyum. "Gak apa-apa tante, lain kali kan masih bisa", aku coba menghiburnya. aku sangat salut dengan sosok perempuan satu ini, sangat jarang ada perempuan setegar dia, yang rela terpisah dengan suami demi menghidupi keluarga.

di rumah itu ada juga kakak sulungnya, dia tidak berdiri menyambut kedatanganku "sudah beberapa bulan ini Hamzah tak bisa jalan, jadi dia di rumah saja", tambahnya. kuperhatikan kakinya, nampak tidak normal. ia seperti orang lumpuh. kami terpaut beberapa tahun saja, aku lebih muda darinya, namun kondisinya sungguh memprihatinkan. Orang seperti dia seharusnya berada di bangku kuliah, mencicipi nikmatnya pendidikan. "beginilah keadaannya nak,", tambahnya lagi. sementara si bungsu sedari tadi berkoar-koar, dia sangat senang aku datang. "K' bentar malam kita ke pasar malam, kan malam minggu, di sana ramai lho kak", celotehnya. ibunya cuma bisa senyum-senyum, Tia pun sama. sementara aku hanya bisa manggut-manggut, meski hatiku menangis tersayat, hanyut dalam keadaan yang sungguh kejam.

* * * *
Malam itu, Tia bersama si bungsu mengajaku mengelilingi kotanya yang riuh. Naik becak mengelilingi pasar malam yang gemerlap. nampak keceriaan di wajah mereka, senyumnya tak pernah layu. "gimana k', seru kan", celoteh si bungsu."iya.. iya.. seru banget", kucoba tersenyum meski hatiku menangis lirih.

Kota Jakarta yang indah, tak ada tempat buat mereka. mereka tak bisa jadi pelakon utama, mereka terlahir hanya sebagai penonton yang tidak kebagian karcis, yang hanya bisa menyaksikan sebuah drama kehidupan dari luar panggung sambil sesekali mencoba tersenyum, meski itu perih.

malam itu, aku jadi tamu spesial mereka. segala suguhan terbaik disuguhkan untukku. tanpa canggung-canggung, aku pun berusaha menikmatinya, mencoba larut dalam kebahagian itu. menjelang larut malam, ibunya Tia memintaku berisitirahat di kamar atas, bersama kakaknya, Hamzah. semmentara Tia dan si bungsu tidur bersama ibunya.

* * * *
subuh-subuh, kudengar suara gemerincik air mengalir. ada orang yang sedang mandi. tak lama kemudian, suara lirih seorang gadis menyadarkanku, Tia sedang membaca sabda-sabda langit, ia sedang menunaikan shalat subuh, "pagi sekali dia bangun", pikirku. tak lama setelah itu, ibunya pun bangun. Aku masih terbaring lemas bersama Hamzah. tiba-tiba Tia masuk ke kamar, mengagetkanku. "k', aku mau berangkat kerja, ini ada sedikit hasil tabunganku, kakak ambil ya!", setengah sadar kucoba menolak, aku merasa tak pantas menerima semua itu. "Ambilah nak, itu penghasilannya Tia, dia sekarang kerja di sebuah perusahan jahit", tiba-tiba ibunya muncul. aku belum sempat bilang apa-apa, Tia sudah buru-buru memasukan uang itu ke sakuku, "k, aku berangkat kerja ya!", katanya sambil berlalu.

beberapa saat aku termenung, tak bergeming dari tempat tidur. pikiranku melayang jauh, sungguh luar biasa, pikirku. meski mereka hidup pas-pasan, mereka masih sempat bersedekah untuk orang lain. bersedekah kepada orang yang seharusnya menyedekahinya. bagaimana aku membalas mereka ya Rab, "Ya Allah, luangkan rezki bagi mereka yang tak mengenal kata kikir dan dengki, yang berbuat tanpa pamrih, yang hidup hanya untuk mencari ridho-Mu", bisiku lirih.

menjelang pamitan, ibunya Tia menitipkan sebuah kenangan untuku. sebuah kenangan yang tak akan pernah kulupa, sebuah sarung, sarung yang masih terbungkus rapi. "ambilah nak, hanya ini yang bisa tante berikan", saat itu aku ingin memeluknya, membisikan padanya bahwa ini semua sungguh tak ternilai bagiku, ketulusan kalian mengalahkan segalanya.

Kini, sarung itu, selalu setia menemaniku melalui musim dingin Cairo yang menggigil, sejak beberapa tahun yang silam. setiap kali memakainya, aku selalu teringat mereka, kapan kita akan bertemu lagi!!??..

"ini ada kue buat teman-temanmu, bawalah", aku akhirnya luluh tak kuasa menyaksikan itu semua, kupeluk ia, kutitip salam buat Tia dan si bungsu dan juga buat bapaknya yang sedang berjuang menaklukan badai, kusalami Hamzah lalu kemudian kuucapkan salam perpisahan pada mereka.

"Tante, suatu saat aku pasti ke sini lagi, mengunjungi kalian, mendengarkan celoteh si bungsu, menikmati teh hidangan si Tia, dan jalan-jalan keliling pasar bersama Hamzah. aku juga ingin menceritakan pada kalian tentang dunia yang kulalui, tentang kisah dunia yang penuh warna, suatu saat.. ya.. suatu saat", bisiku dalam hati.

* * * *
Tia adalah sepupuku yang manis, yang polos, yang dewasa, begitu juga Hamzah dan si Bungsu. Kedua orang tuanya merantau ke Jakarta untuk mengaduh nasib, untuk mencari penghidupan yang layak. Tante Salmah, ibunya Tia adalah adik kedua bapaku. Sosok perempuan yang sudah terbiasa dengan asam getirnya kehidupan, yang membesarkan anak-anaknya dengan penuh ketegaran. ini kisah yang kualami 5 tahun silam bersama mereka, sebelum aku berangkat ke Mesir. Sungguh, aku sangat merindukan mereka.

Hari ini aku dapat kabar, Tia sudah menjadi istri seorang pengusaha. Dia kini telah menjadi seorang wanita tegar, setegar ibunya. Semoga ia bisa mendidik anak-anaknya kelak menjadi lebih baik, menjadi anak-anak yang mampu menaklukan dunia. Hanya sebait doa yang kusampaikan, tanpa kado pernikahan, tanpa ucapan tahniah, dari sepupumu yang jauh. "Baarakallahu lakuma, wabaraka alaikuma, wajama'a bainakuma fil khaer waja'ala dzurriayatakuma min ibaadihi s-shalihin, amiiiin, aiiiiin ya rabbal alamin".

Cairo, 4 Muharram 1429 H / 12 Januari 2009 M
« Home | Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »
| Next »